Monday, November 18, 2013

Keteladanan Jendral Besar Soedirman

Jendral Soedirman
Jenderal Besar Soedirman
LahirBodas Karangjati Purbalingga, Jawa Tengah
MeninggalMagelang, Jawa Tengah, Indonesia
PengabdianKekaisaran Jepang (1944–1945)
Indonesia (1945–1950)
Lama dinas1945–1950
PangkatJenderal Besar Anumerta Bintang Lima (1997)
KesatuanTKR/TNI
Divisi V / Banyumas
Batalyon Kroya
KomandoPanglima Besar TKR / TNI (pangkat Jenderal)
Panglima Divisi V / Banyumas(pangkat Kolonel)
Komandan Batalyon Kroya, Jawa Tengah
PerangPalagan Ambarawa
Serangan Umum 1 Maret 1949
Perang Kemerdekaan Indonesia
PenghargaanPahlawan Pembela Kemerdekaan

Berbekal senjata seadanya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Kolonel Soedirman, telah berhasil membuat tentara Sekutu terjepit dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Kegemilangan TKR melawan sekutu pada 12 Desember 1945 di Ambarawa, Jawa Tengah, kita peringati sebagai Hari Juang Kartika.

Hari Juang Kartika merupakan peringatan kelahiran terbentuknya TNI AD, sudah selayaknya diperingati, dan dihayati, dan dijadikan momentum untuk berbuat, bertindak dan bekerja ke depan. Di Ambarawa, 15 Desember 1945, Bangsa Indonesia telah menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa ini mampu secara heroik menjaga mempertahankan kehormatan, kemerdekaan, integritas dan kedaulatan Republik Indonesia.

Peristiwa heroik itu diukir para pendahulu TNI Angkatan Darat, para pejuang, dan para pahlawan bangsa dalam bentuk perlawanan yang tidak mengenal menyerah dan rela berkorban dalam pertempuran mengusir musuh yang ingin menjajah kembali persada Ibu pertiwi. Tak hanya harta dan benda yang dikorbankan oleh para pendahulu TNI Angkatan Darat, pejuang, dan pahlawan bangsa, tetapi jiwa raga pun mereka persembahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Artinya, kita perlu “melahirkan kembali” Panglima Besar Jenderal Sudirman ke tengah-tengah kehidupan prajurit AD, dalam bentuk semangat juang dan nilai kejiwaannya. Kita sadari bahwa kehidupan prajurit yang dihadapkan dengan tantangan kemajuan dunia yang begitu cepat dari berbagai dimensi kehidupan. Tak ada pilihan lain agar tidak terombang ambing oleh keadaan sebagai prajurit pejuang, untuk meneladani segala nilai dalam kepribadian Panglima Besar Sudirman.

Berbagai keterbatasan yang ada, hendaknya tak menjadi alasan pembenaran untuk tidak melaksanakan tugas secara optimal. Kita harus selalu optimis bahwa hari-hari yang kita lalui, akan lebih baik dan TNI AD akan terus berkiprah dan hadir sebagai tentara yang modern, professional dan senantiasa mencintai rakyat dengan selalu mengedepankan etika dan moralitas, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Contoh konkrit ada pada sosok Jendral Sudirman. Sebagai “Hisbul Wathon” sampai akhir hayatnya, cinta tanah air terwujud karena ia termasuk orang yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sembahyang lima waktu tidak ditinggalkan begitu pula puasanya dan rukun Islam lainnya kecuali ibadah haji belum sempat dilaksanakannya. Dari para mantan pengawal dan stafnya diperoleh penjelasan, dalam perang gerilyapun Sudirman tidak meninggalkan puasa Ramadhan. Artinya, nilai keimanan dan ketaqwaan beliau, patut ditiru.

Taqwa mengandung arti mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan ikhlas, melaksanakan perintah-perintah Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya. 
Nilai pengabdian mempunyai arti kebulatan tekad dari para pejuang Indonesia untuk untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah berhasil direbut dengan segala konsekwensinya. Dari nilai pengabdian tersebut, tercermin semangat juang yang pantang menyerah, tidak mengharapkan pujian atau imbalan. Juga berarti percaya kepada kekuatan sendiri daripada kebiasaan hidup ketergantungan ke pihak lain. Serta keikhlasan berbakti dan berkorban sebagai darmanya.

Kepemimpinan Pangsar Sudirman “yang bersikap anutan” telah membawa dampak positif bagi kehidupan militer, sejak awal karirnya. Beliau tidak pernah mengalami kesulitan dalam tugasnya, karena sudah dibekali prinsip-prinsip kesetiaan. Antara lain kesetiaan kepada amanat Allah SWT. Yang diperoleh dari ketekunan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, setia terhadap amanat jiwa kemerdekaan Indonesia, amanat penderitaan rakyat, yang diakibatkan oleh penindasan bangsa asing. Hal tersebut menjadi cirri tinggi nilai moralitas atau akhlak beliau yang patut kita teladani.

Demikian pula nilai kesetiaan dan pendirian yang teguh dari Sang Jendral Besar. Ia memilih untuk tetap berada di tengah pasukannya ketimbang berada di kepresidenan, pada hari penyerangan Belanda terhadap ibukota RI di Yogyakarta (19 Desember 1948). Ribuan tentara payung Belanda diterjunkan dan menyerang Yogyakarta. Para pemimpin Republik memutuskan untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Panglima Besar Sudirman disarankan untuk tetap berada di kepresidenan saat Belanda sudah berhasil masuk kota. Namun Jendral Sudirman membuat keputusan untuk tertap bersama prajurit melanjutkan perang gerilya, walaupun kondisi fisik pada saat itu dalam keadaan parah. Kata beliau,“Maaf saja, saya tidak bisa. Tempat saya yang terbik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan Met of zonder pemerintah, APRI berjuang terus”.

Nilai kedisiplinan yang patut kita teladani dari Pangsar Jenderal Sudirman, antara lain saat beliau memimpin perang gerilya melawan Belanda. Beliau menyampaikan amanat berupa maklumat No. 7. Nomor: 26/MBKD/1949, tanggal 27 Maret 1949 yang berbunyi ,”Agar dipelihara dan dijaga: persatuan di dalam APRI, hubungan antara atasan dan bawahan, kedaulatan dan disiplin Tentara, Kemerdekaan Negara, membasmi usaha-usaha yang memecah belah persatuan. Sikap Pangsar Sudirman yang tabah dan tahan uji, merupakan nilai keuletan yang patut kita tiru. Dalam menghadapi berbagai situasi, beliau tidak mengenal menyerah, pantang putus asa, tahan menderita, gigih dalam memperjuangkan sesuatu. Sesuai amanat melalui “surat Pangsar” tanggl 1 Mei 1949 yang ditujukan kepada seluruh Komandan Kesatuan APRI pada saat melancarkan perang gerilya. Isi surat tersebut antara lain,“Jangan bimbang dalam menghadapi macam-macam penderitaan. Karena makin dekat cita-cita kita tercapai, makin berat penderitaan yang harus kita alami.”

Nilai pengorbanan Sang Jendral pun diteladani oleh sang istri. Sebagai istri seorang prajurit, istri Panglima Besar Sudirman antara lain dengan tulus ikhlas, rela menyerahkan seluruh perhiasan yang dimilikinya untuk membiayai suaminya memimpin perang gerilya. Pengorbanan atau rela berkorban mengandung makna rela menderita, bahkan rela mengorbankan jiwa raganya, demi perjuangan suami demi tegaknya NKRI. 


source : kaskus, wikipedia & buku sejarah sma (jadi kangen sma hehe).. sekian semoga nilai -nilai keteladanan beliau dapat kita contoh/terapkan dalam kehidupan ini.



vanucup 


1 comment: